Abu Bakar: Menyingkir
Pameran Tunggal Seni Rupa
Pembukaan:
Kamis,
11 Agustus 2011 pkl. 19.30 Wib
Oleh:
Dyan
Anggraeni
dan Baca Puisi Dolanan
Abu Bakar
Diskusi:
Jumat,
12 Agustus 2011 pkl. 15.30 Wib
Tema:
Karya dan Intensitas Perupa
Pembicara:
Rain
Rosidi, Abu Bakar, Yusuf Siregar (moderator)
Sangkring Art Project
Nitiprayan No. 88 RT 01 RW 02
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY
)* Pameran berlangsung
tanggal 11-25 Agustus 2011
Tentang Menyingkir
Menyingkir
bukanlah tersingkir atau disingkirkan. Ia merupakan sebuah sikap yang dipilih
secara sadar. Mungkin saja memang ada tekanan di sekitar atau oleh satu hal.
Bentuknya tak hanya sakit dan derita, bisa pula iming-iming atau godaan untuk
hidup nyaman dan mapan. Namun bukan
karena kalah kalau kemudian seseorang memutuskan untuk menyingkir. Seseorang
yang menyingkir, hakikatnya adalah seseorang yang membuat jarak dengan
pusat “tekanan”. Tidak saja membuatnya
jauh dari hiruk-pikuk, terhindar dari cipratan dan efek tak diinginkan, namun
sekaligus membuatnya mencipta “jarak aman” untuk membaca keadaan dengan lebih
jernih. Ia tidak lari apalagi bersembunyi; ia terus membaca keadaan dan tidak
tinggal diam.
Dengan demikian, seseorang yang menyingkir tidak memanggul dendam
kesumat, tidak perlu merasa “dikutuk-sumpahi eros” atau merangkaki dinding
buta, namun pasti membangun perhitungan untuk “sesekali betah bertahan.” Itulah
sebabnya, menyingkir bisa pas bersebati dengan berbagai situasi yang bernilai
perhitungan—mundur selangkah untuk maju beribu langkah—misalnya saja dalam
konteks gerilya atau bahkan hijrah. Menyingkir dalam kamus gerilya bukanlah
kekalahan, bukan pula ungkapan atau sikap yang tabu untuk dijalankan. Begitu
pun dalam (peristiwa) hijrah: para kafilah secara sadar meninggalkan kota asal
untuk menapaki kota lain, tidak saja membuat mereka lebih tenang membikin
perhitungan, namun sekaligus bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru,
khususnya yang sevisi dan seiman.
Segala sesuatu pun lalu menjadi mungkin. Kota asal atau markas yang
ditinggalkan, tidak begitu saja lampus dalam kenangan melainkan justru hidup
berkilap, dan seumpama lampu mungkin ia mencapai puncak paling terang; dari
situ seseorang yang menyingkir memungut serpih dirinya, pengalaman dan
peristiwa yang dialaminya. Ia akan mengolahnya sesuai posisi atau profesi. Bagi
seorang kreator, itulah sumber penciptaan. Diaduk dengan realitas sekitar
(wilayah kekinian tempatnya menyingkir), maka lahirlah karya-karya yang sanggup
merefleksikan perjalanan hidup dalam segala keadaan.
Spirit inilah yang kita tangkap dari proses kreatif dan karya-karya
Abu Bakar, ia yang secara sadar meninggalkan hiruk-pikuk kota besar (Denpasar,
Jakarta, Bogor), menyingkir ke sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merapi,
Klaten. Begitulah ia menyelamatkan proses kreatifnya; menyingkir untuk waktu
yang tak digariskan. Mungkin ia akan selamanya menyingkir, menghabiskan sisa
umur di “sarang” yang membuat ia lebih tenang, tidak mengapa. Toh, ia bisa
kembali, pergi dan pulang, ke luar-masuk ke berbagai tempat yang ia inginkan,
melalui karya-karya rupa yang ia gubah dalam berbagai teknik dan ekspresi. Sekaligus dengan itu, ia berhasil mengambil
“jarak aman” dari sumber-sumber tekanan: penciptaan yang instan, trend dan
perayaan, maupun tangan-tangan pasar-kapital yang berkelindan di seputaran
dunia kreatif seniman. Dengan spirit menyingkir itulah, kini kita menikmati
karya Abu Bakar yang sekaligus juga
bernilai dokumentatif bagi kerja kesinamanannya yang panjang.
(Raudal
Tanjung Banua)
Melihat Kesenian
Abu Bakar
M. Yusuf Siregar
I
Kita tahu, realisasi pameran yang materi presentasinya sebagian
besar dekat dengan proses kreatif sebuah genre Seni Rupa yang lazim disebut Seni Sketsa akan selalu memunculkan tantangan tersendiri.
Bukan karena pemikiran kontroversialnya di seputar genitnya pertentangan kalangan akademis akan kelayakannya
untuk disebut sebagai karya rupa yang utuh, karena adanya perdebatan yang
menempatkan Seni Sketsa merupakan sekedar studi awal sebelum
dilanjutkan menjadi sebuah lukisan. Tantangan signifikannya justru terletak
pada semakin jarangnya pameran serta pewacanaan tentangnya. Berakibat pada
terjadinya penghilangan potensi Seni Sketsa sebagai salah satu bahasa
artistik dalam sebuah usaha representasi visual.
Padahal sejak awal munculnya Seni Rupa
modern Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, Seni Sketsa secara bentuk dan
fungsi telah dipraktekan dan dibicarakan sebagai ekspresi rupa yang kompleks.
Salah satu jejak yang dapat kita rujuk misalnya saat dibukukannya karya-karya Seni Sketsa Henk Ngantung (1981) yang
sebagaian besar merupakan dokumentasi peristiwa-peristiwa medan perang, suasana
perjanjian-perjanjian dan kehidupan sehari-hari penduduk. Isi buku yang
diseleksi dan diberi pengantar oleh Nashar dan Burhanuddin M.S tersebut memuat
banyak pemikiran dan informasi perkembangan Seni Sketsa, termasuk kegiatan
pameran-pameran selama periode revolusi kemerdekaan yang menyandingkan Seni
Sketsa dengan genre Seni Rupa lainnya.
Permasalahan yang merisaukan ini, oleh Sanento
Yuliman di pertengahan tahun 90-an ditengarai muncul dari sikap awal boom Seni
Rupa yang memandang sebelah mata material kertas dan cat berbasis air
dibandingkan material kain kanvas dan cat minyak pada Seni Lukis. Imbasnya langsung terlihat nyata pada penyusutan dalam ragam medium, yaitu macam
bahan dan teknik. Sikap ini berujung pada penyempitan wawasan medan dunia Seni
Rupa yang gejalanya disebut Sanento sebagai fenomena pemiskinan.
II
Istilah Sketsa
sering dipahami sebagai lintasan peristiwa, sekilas yang ditangkap dalam sekali
pandang. Menurut Le Meyers (1969), Sketsa merupakan gambar catatan. Pada
pengertian ini, terdapat keinginan
perupanya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang
menarik perhatian dengan cepat dan spontan. Di sinilah, peran garis menjadi elementer
karena kesederhanaan aplikasinya mendukung kepentingan pengabadian kesesaatan
tersebut. Baik lewat goresan sebatang lidi maupun sapuan kuas. Baik lewat perpaduan
beberapa warna maupun monokrom saja.
Jika kita mulai memperhatikan karya-karya Abu
Bakar yang dipamerkan, dapat dikatakan ia masih terlihat menggeluti objek pokok
tradisi seni Sketsa yaitu, manusia, tumbuhan dan bangunan. Namun nilai hasil bentuk
dan isi sketsa Abu Bakar bukanlah terletak pada objek, tapi pada tenaga
perasaan-perasaannya. Maka, tidak mengherankan dalam perkembangannya, objek
pokok tersebut mengalami deformasi, baik lewat simplikasi, distorsi dan
stilisasi. Corak ini, didorong oleh gejolak emosi dan spontanitas yang kuat,
sebagai tanda bekerjanya tenaga yang menekan dan menarik bentuk. Karya dengan
judul Tribute to Pak Lempad dan Dancer memberi penggambaran ini.
Bahkan kemudian, muncul usaha Abu untuk memaksimalkan batas pencapaian potensi
garis dan warna yang membawanya pada pemurnian objek. Sebuah konsekuensi
ketertarikan pada permainan irama garis dan komposisi bidang yang memang
merupakan unsur pokok menuju seni abstrak. Karya berjudul Sepatuku, Pending
dan Oret-oret adalah
perwujudannya.
Menggoreskan garis juga adalah pernyataan pikiran,
di mana sikap terhadap tema akan lahir. Tema-tema yang berpihak pada kondisi sosial
banyak muncul dalam seni Sketsa Abu Bakar. Mulai dari isu lingkungan,
kemiskinan sampai ancaman global senjata nuklir. Menariknya, cara menyatakan persoalan ini selalu memakai sudut
pandang pengalaman dari dunia orang-orang yang paling lemah dan rentan. Kaum
ini, biasanya terdiri dari perempuan dan anak-anak. Hal yang dengan gamblang ditangkap pada karya Anak
Jalanan, The Nucleer Menace dan Pohon Terakhir. Kalaupun
kadang kaum lelaki hadir sebagai objeknya, seperti dalam judul Tribute to Tjokot dan Pak Sito tetap
saja hadir bukan sebagai tubuh yang tegap tapi sudah tua dan renta.
Dari sebagian besar karya seni Sketsa Abu Bakar
yang dipamerkan terdapat
juga karya-karya yang berbeda
secara genre dan dapat dikatergorikan sebagai Seni Batik, Seni Grafis dan Seni Lukis. Namun jika diteliti dengan seksama, teknik yang
digunakan untuk membentuk suasana objeknya tetaplah meninggalkan jejak ekspresi
sebuah Seni Sketsa. Keberanian Abu
Bakar untuk melakukan eksperimen terhadap
Seni Sketsanya dengan beragam bahan dan teknik,
pantas mendapatkan apresiasi khusus. Salah satunya adalah penggunaan teknik Cetak
Saring. Hal ini, pada prakteknya langka dilakukan, alasannya tentu untuk menjaga
kepentingan ekspresi garisnya. Uniknya, Abu Bakar sukses mempertahankan
kekuatan ekspresi garis pada karya cetaknya.
III
Dalam Seni Rupa Indonesia melalui tafsir “jiwa ketok” S.
Sudjojono garis dipercaya memiliki hubungan erat dengan karakter dan ekspresi.
Maksudnya, betapapun bentuk tercipta setelah sebuah garis ditorehkan, baik itu
berbentuk lurus, patah-patah, melengkung dan berulang atau sebagainya, itu
bukanlah yang utama. Sebab yang terpenting ia telah menunjukkan dengan gamblang
bentuk karakter seseorang yang telah mewakili pengertiannya terhadap kenyataan
sekelilingnya dengan jujur.
Pameran ini, adalah contoh dari upaya untuk
mewarisi sikap jujur dalam menjalani proses berkarya Seni Rupa tersebut. Kita dibantu untuk mulai yakin bahwa hasil kesenian
memiliki kesinambungan erat dengan karakter dan ekspresi yang diperjuangkan
senimannya. Walaupun sialnya sikap ini, pada kenyataannya sering menggiring si
seniman untuk senantiasa memilih menyingkir dari gelanggang dunia seninya yang acap kali dalam perkembangannya menjurus
dekaden. Tapi jika dilihat dari konsekuensi dan capaian karyanya, Abu Bakar telah memberi nilai
setimpal untuk hasil keseniannya.
Abu Bakar
lahir di Sulawesi Selatan tahun 1925. Mengikuti pameran Adelaide Festival of
Arts dan Christian Art Exibition Melbourne, Australia (1980), Christian Art in
Asia, University of British Columbia, Vancouver, Kanada (1983) dan tahun 1986
bersama Ivan R berpameran di Goethe Institut, Jakarta. Mantan penata artistik
Majalah Oukumene ini, pernah meraih Juara II Lomba Poster Internasional
“Your Kingdom Come”, World Council of Churches, Swiss. Bukunya yang sudah
terbit adalah Dolanan (kumpulan puisi, 2009) dan Sepilihan Karya Abu
Bakar (kumpulan karya rupa, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar